Minggu, 28 Juni 2009

MAKALAH MANAJEMEN PEMASARAN

CUSTOMER
CONVERSION
JOURNEY

Strategi dan Taktik Jitu Membangun Loyalitas Pelanggan

Hal yang utama dalam pemasaran adalah bagaimana memuaskan customer dan menjadikannya sebagai customer loyal, yang kemudian, pada tahap selanjutnya dapat meningkat menjadi customer yang melakukan marketing. Untuk mencapai tahap tersebut tentu dibutuhkan langkah-langkah strategis, sebagaimana fungsi dan sifat marketing yang luas, mulai dari proses saringan awal, sampai jadi pelanggan yang antusias (Spiritual Advocate).

Customer Conversion Journey

Customer Conversion Journey merupakan operating model yang bisa membantu perusahaan dalam mengunci pelanggan agar tidak pindah ke pesaing, tetap puas dan loyal pada produk. Untuk lebih jelasnya, kami paparkan masalah ini sebagai berikut :

Dari Listed Suspect ke Qualified Prospect

Dalam filosofi marketing, produk di ciptakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan kelompok masyarakat tertentu saja, kecuali produk komoditas seperti sembako yang dibutuhkan semua orang. Kelompok masyarakat yang diperkirakan atau dipercaya marketer paling membutuhkan produk disebut suspek.
Strategi dan taktik marketing sebaiknya diarahkan hanya ke suspek sehingga tidak membuang sumber daya, waktu dan kesempatan. Untuk mengetahui suspek pertama kali marketer harus memahami misi perusahaan-dimana didalamnya terkandung pernyataan lingkup bisnis, kemudian baru nilai manfaaat yang terkandung didalam produk.
Suspek ini kemudian disaring lagi berdasarkan daya belinya untuk mengetahui suspek yang potensial dan suspek yang tidak potensial. Setelah itu, marketer akan mencoba mengarahkan aktualisasi pembelian para prospek ke satu brand tertentu. Caranya bagaimana ? caranya marketer akan menciptakan positioning brand yang selaras dengan karakter prospek. Segmentation, targeting, dan positioning (STP) adalah disiplin loyalitas pelanggan pertama yang harus dilakukan yakni ketika marketer menyaring suspek menjadi prospek.
Pada prinsipnya segmentasi dipakai untuk memilih pasar yang beragam kedalam komponen yang lebih kecil yang diprediksi akan memiliki sikap, prilaku, selera, dan reaksi yang sama terhadap taktik marketing. Dengan melakukan segmentasi, marketer akan lebih mudah menentukan kualifikasi suspek yang layak menjadi prospek. Dimana suspek tersebut dapat di segmentasikan ke dalam segmentasi anak-anak, segmentasi remaja dan segmentasi dewasa. Hanya prospek yang berpotensi paling besar akan dijadikan sasaran program pemasaran (targeting). Dengan melakukan segmentasi dan targeting, perusahaan dapat lebih mengarahkan program marketing dan sales pada suspek yang berpeluang membeli produk paling besar sehingga mampu memaksimalkan tingkat imbal balik setiap rupiah yang dikeluarkan untuk program marketing dan sales.
Sedangkan positioning adalah cara untuk menanamkan kredibilitas brand dibenak pelanggan. Oleh karena itu dalam pemilihan suspek menjadi prospek, positioning membantu menyingkirkan suspek yang tidak prospek dengan menciptakan perceptual locator – persepsi profil pelanggan yang cocok dengan produk. Positioning yang tepat akan membantu pelanggan mendefinisikan dan membedakan sebuah produk dengan pesaingnya. Jadi dalam positioning seorang marketer harus tau kebutuhan dari konsumen tersebut dan dalam produk yang ia tawarkan harus sesuai dengan segmentasi dan produknya harus berbeda dan unggul dengan produk pesaingnya.
Hanya dengan merancang strategi segmentasi, targeting, dan positioning yang sesuai. Perusahaan dapat memilih secara efektif suspect ke dalam prospect.



Dari Qualified Prospect ke First Time Buyer

Langkah selanjutnya yang dilakukan seorang marketer setelah berhasil mendapatkan sekelompok qualified prospect adalah mendorong semaksimal mungkin qualified prospect melakukan pembelian. Qualified prospect yang telah melakukan aktualisasi pembelian berubah statusnya menjadi first time buyer.
Untuk dapat mendorong aktualisasi pembelian qualified prospect sebanyak mungkin, marketer harus menetapkan strategi diferensiasi, marketing mix, dan selling (DMS).
Diferensiasi yang solid akan semakin menguatkan positioning sebuah produk. Apapun produk kita dan dimanapun kita beroperasi apakah di pasar massal atau niche, diferensiasi tetap menjadi sumber guna mendapat limpahan aktualisasi pembelian dari pelanggan. Diferensiasi harus menjadi alasan pelanggan memilih produk kita. Diferensiasi harus bisa menjawab pertanyaan pelanggan mengapa ia harus memilih produk kita dibandingkan 100 produk sejenis yang ada di pasar. Oleh karena itu diferensiasi menjadi salah satu strategi kunci untuk mengunci pelanggan agar aktualisasi pembelian yang dilakukan qualified prospect hanya mengarah ke satu titik yaitu produk kita.
Marketing mix merupakan sebuah unsur strategi pemasaran yang terdiri dari product, price, place dan promotion. jika positioning dikomunikasikan melalui iklan maka diferensiasi di aktualisasikan dalam marketing mix. Misalnya jika sebuah brand mobil mengiklankan dirinya sebagai value car dikelasnya maka positioning ini harus mewujud pada product sebagai mobil yang efisien, price-sebagai mobil yang harganya terjangkau, place-dealer dan pusat servis yang tersebar. promotion-iklan yang menguatkan pesan sebagai value car, agar konsumen dapat tertarik, sehingga mau membeli produk yang kita tawarkan.
Diferensiasi yang solid dan marketing mix yang tepat harus ditutup dengan taktik penjualan (selling) yang menarik. Taktik selling adalah pintu terakhir untuk bisa membangkitkan keinginan untuk membeli. Agar proses penjualan berjalan mulus, marketer pertama kali harus memahami bahwa penjualan bukanlah tujuan akhir pemasaran. Tujuan pemasaran adalah menghadirkan solusi yang memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Menurut kami penjualan janganlah hanya dimengerti sebagai proses transaksi semata, namun jika memungkinkan penjualan merupakan sebuah proses untuk mencapai solusi.
Fase kedua dalam siklus loyalitas ini sangat menentukan keberhasilan proses berikutnya khususnya dalam menjadikan pembeli pertama sebagai pelanggan. Sebagai peletak pengalaman mengkonsumsi di benak pelanggan, fase kedua menjadi referensi bagi pelanggan dalam mengambil keputusan konsumsi yang kedua, ketiga dan seterusnya. Dengan kata lain keberhasilan perusahaan dalam mengubah prospek menjadi pelanggan ditentukan disini.


Dari First Time Buyer ke Repeat Customer

Untuk mengikat first time customer menjadi repeat customer, perusahaan harus meningkatkan keeratan hubungan dengan pelanggan dan menambah value product dengan menciptakan brand yang kuat, memberikan servis yang memuaskan dan proses yang efisien sekaligus efektif sebagai jaminan kelancaran proses servis.
Karena brand adalah value indicator bagi produk maka kualitas produk di pasar telah seragam maka brand menjadi penguat diferensiasi yang menjadikan nilai suatu produk lebih tinggi dari produk yang lain. Inilah mengapa pelanggan sering kali mendasarkan keputusan pembelian pada persepsi brand saja. Misalkan BMW dipersepsikan sedan untuk eksekutif muda, yang dinamis dan ekspresif, berbeda dengan Mercedes yan dipersepsikan sebagai sedan kelas CEO yang matang, mapan, dan prudent.
Untuk mendorong first time buyer melakukan pembelian berikutnya, pelanggan harus percaya pada nilai brand. Membangun brand yang kuat berkaitan dengan usaha untuk membuat pelanggan melihat brand kita sebagai brand yang paling kredibel yang dapat memberikan solusi yang terbaik. Sebuah brand yang baik akan mampu menyampaikan pesan dengan baik, menunjukkan kredibilitas, menghubungkan prospek secara emosional, memotivasi pembelian dan mengkonkritkan loyalitas. Brand harus menjadi payung yang mempresentasikan produk dan servis.
Servis bukanlah after sales service, before sales service atau sales service. Apa yang kami sebut service disini adalah service dengan huruf S besar yang berarti segala sesuatu yang dilakukan perusahaan untuk memberikan solusi pada pelanggan. Sebuah perusahaan apapun itu apakah termasuk product driven maupun market driven pasti mempunyai servis dalam mekanisme hantarannya (delivery system). Oleh karena itu semua perusahaan bisa dianggap sebagai service company karena memberikan solusi pada pelanggan.
Peningkatan nilai produk melalui servis tidak akan terjadi tanpa adanya proses yang efektif dan efisien. Proses disini yang dimaksud adalah proses penciptaan nilai bagi pelanggan yang tergambar pada kualitas produk, biaya yang dikeluarkan dan kualitas hantaran produk kepada pelanggan atau disingkat QCD-Quality, Cost, Delivery.
Kualitas produk yang baik, cost yang terkendali dan hantaran produk yang cepat hanya terjadi jika perusahaan bisa menjalankan value chain process secara efektif. value chain process terdiri dari demand chain dan supply chain. Demand chain adalah pengelolaan nilai dari perusahaan sampai ke pelanggan sedangkan supply chain adalah pengelolaan nilai dari suplier ke perusahaan. Dalam demand chain dan supply chain, perusahaan berusaha memaksimalkan pencapaian proses yang menghasilkan nilai dan mengurangi seminimal mungkin proses yang mengurangi nilai. Untuk mencapainya perusahaan harus bertindak sebagai hub network organitation-menjalin jejaring hubungan dengan perusahaan-perusahaan lain yang ada dalam rantai nilai.
Tiga komponen value creating drivers ini harus bisa menghasilkan nilai yang tidak hanya berguan bagi pelanggan eksternal dan pemegang saham saja, namun juga harus menjadi kredo bagi karyawan. Brand, Service, dan Process akan membantu meningkatkan efektifitas proses transformasi dari first time customer ke repeat customer.


Dari Repeat Customer ke Loyal Client

Untuk meningkatkan repeat customer menjadi loyal client marketer sekali lagi harus menambahkan value kepada pelanggan. Hal ini wajar karena pelanggan selalu menginginkan manfaat yang lebih besar dari pengorbanan yang mereka keluarkan.
Perusahaan yang memimpin pasar biasanya mampu memberikan satu dari tiga superior value kepada para pelanggannya yakni product leadership, operational excellence atau customer intimacy (POC).
perusahaan yang menerapkan strategi product leadership biasanya perusahaan yang berkarakter inovatif seperti Sony, Nokia atau Microsoft. Mereka menawarkan produk yang selalu baru, inspiratif seperti Sony Walkman, Nokia Communicator dan X-Box. Kemampuannya membuat produk baru diraih dengan cara mendorong munculnya ide-ide baru, kemudian mewujudkannya dalam konsep produk, dan mengkomersilkannya ke pasar secepat mungkin.
Kecepatan mengelola proses adalah aspek terpenting yang selalu di nomor satukan sebagai factor pemungkin yang membuat mereka bisa meraih lompatan inovasi. Tiga proses yang menjadi inti yaitu penemuan produk (invention), pengembangan produk (product development) dan eksploitasi pasar (market exploitation). Selain itu dari segi soft aspect yaitu budaya perusahaan tiga nilai inovasi yaitu imaginasi, berfikir out of the box, dan mengutamakan pencapaian harus ada.
Strategi operasional excellence. Mereka umumnya memfokuskan diri pada usaha untuk mencapai kombinasi dari tiga hal terbaik yaitu kualitas produk, harga termurah atau pengiriman tercepat sehingga tidak ada satu pesaing pun yang dapat melakukan lebih baik dari mereka.
Pengelolaan proses internalnya yang mendekati sempurna membuat mereka menjadi perusahaan pemimpin dalam harga dan pengiriman tanpa mengabaikan kualitas produk. Dell computer adalah contoh perusahaan yang sejak awal pendiriannya mengedepankan nilai-nilai operational excellence dengan membangun system direct selling yang efisien dan efektif. Dengan system yang menghapus distributor ini, Dell mampu membuat komputer dengan harga yang terjangkau, customized, dengan proses pembelian yang lebih gampang.
Treacy dan Wieserma dalam bukunya yang terkenal the Discipline of Market Leader mengatakan bahwa kunci untuk melaksanakan operational excellence adalah mengoptimalkan dan merampingkan proses penawaran barang dan penghantaran servis.
Sedangkan perusahaan yang mengedepankan customer intimacy menciptakan nilai diferensiasi dengan merancang produk yang customized dengan harga yang terjangkau (mass customization). Agar bisa melakukannya, perusahaan harus memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan dan mempunyai system operasi yang fleksibel sehinggga bisa cepat merespon permintaan pelanggan. Tentu saja struktur bisnisnya pun harus medukung yakni struktur yang mengedepankan pendelegasian dengan budaya perusahaan yang menekankan pada customer relationship dan customer solution.
Sebagaimana dijelaskan oleh Treacy dan Weiserma perusahaan yang dekat dengan pelanggan melibatkan diri dalam hubungan yang lebih dalam (relationship) dan mempertimbangkan factor customer life-time value secara hati-hati sebagai sesuatu yang berharga. Mereka juga selalu meningkatkan penawaran dan kualitas produknya kepada pelanggannya sehingga harapan mereka terhadap produk semakin hari semakin naik. Mereka seakan ingin menerapkan standar layanan yang paling tinggi di industrinya sampai pesaing tidak mampu mengikutinya.
Dalam rangka meningkatkan repeat customer menjadi loyal client, tantangan terberatnya adalah menciptakan switching barrier yang mampu mengunci pelanggan. Kuncinya terletak pada cara perusahaan bisa mengenali kekuatan internalnya dan memutuskan mana dari ketiga strategi pemimpin pasar tersebut yang akan dipilih sebagai sumber keunggulan bersaing.


Dari Loyal Client ke Spiritual Advocate

Perusahaan yang mempunyai loyal client dalam jumlah banyak sangatlah beruntung apalagi jika sebagian dari loyal client ini telah menjadi spiritual advocate. Pasalnya semakin tinggi kadar loyalitas yang dimiliki pelanggan maka mereka akan makin nyaring menyuarakan segala hal yang positif kepada para prospek. Oleh karena itu perusahaan harus selalu berusaha meningkatkan loyalitas tiap pelanggan sampai tingkat tertinggi yakni spiritual advocate. Untuk mencapainya ada tiga disiplin cara mengunci pelanggan yang harus dijalankan yaitu membentuk komunitas (communitization), menciptakan buzzword (buzzing) dan menciptakan keterikatan emosi pelanggan dengan brand (emotionalitazion) (CBE).
Kunci untuk meningkatkan jumlah spiritual advocate adalah dengan menciptakan komunitas pemakai brand kemudian mendorong keterikatan emosi anggota komunitas satu sama lain. Menurut Mc Connel dan Huba dalam bukunya Creating Customer Evangelist, manfaat komunitas bagi pelanggan adalah menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) yang lebih besar melalui keterikatan sosial.
Di komunitas, pelanggan saling bercerita tentang berbagai aspek tentang produk-mulai dari kelebihan dan kelemahan produk cara menggunakannya sampai tip-tip menyelesaikan masalah produk. Dengan proses sharing ini ada kemungkinan pelanggan yang dulunya tidak puas, setelah bergabung di komunitas kepuasannya meningkat karena merasa ada teman yang senasib-sepenanggungan, dan bersedia membagi solusi untuk menyelesaikan masalah yang sedang di hadapinya.
Sedangkan bagi perusahaan, komunitas adalah channel yang murah untuk mendapatkan feedback dari pelanggan yang berguna bagi pengembangan produk baru. Bahkan pada beberapa kasus, keberadaan komunitas mampu mendongkrak angka penjualan barang dikarenakan mekanisme customer referral dan recommendation berjalan.
Saya memberikan contoh pada saat sekarang ini banyak sekali komunitas anak-anak motor, baik itu komunitas umum bagi pengendara sepeda motor merk apa saja, bahkan banyak komunitas yang khusus 1 merk saja, salah satunya seperti komunitas motor Honda Tiger misalnya, komunitas ini selain punya basecamp (tempat berkumpul), komunitas ini juga sering mengadakan touring antar kota yang dapat bertujuan sosial dan menjalin persaudaraan untuk rasa persaudaraan.
Namun sayangnya tidak ada rumus baku untuk sukses mengelola komunitas karena sifatnya unik. Namun secara garis besar apapun bentuknya sebuah komunitas harus dapat efektif memfasilitasi hubungan antara pelanggan satu dengan pelanggan yang lain dan juga dengan perusahaan. Beberapa contoh program komunitas yang berhasil antara lain in-person event, club, user groups, online bulletin board, e-mail discussion group, e-mail newsletter, dan fans web site.
Strategi kedua adalah dengan menciptakan buzz. Per definisi buzz adalah kumpulan pembicaraan seputar produk, servis dan perusahaan dalam berbagai kesempatan. Buzz bisa melalui tatap muka, pembicaraaan melalui web di chat room, bulletin board, dan e-mail yang diteruskan ke orang lain. Jadi dalam buzz ini seseorang bisa berkonsultasi atau tanya jawab tentang produk tersebut, sehingga dapat menciptakan keyakinan akan kualitas maupun kegiatan-kegiatan dalam komunitas dari porduk tersebut kepada konsumen.
Buzz yang sukses biasanya di kemas dalam bentuk cerita (story), mitos (myth), dan pemberitaan yang menarik baik mengenai produk maupun perusahaan sehingga menjadi hot topic dikalangan penggunanya maupun masyarakat secara umum. Seperti kejadian yang di alami Mel Gibson ketika meluncurkan film controversial Passion of the Christ. Ceritanya yang kontroversialnya justru mendorong orang ingin menonton. Buzz marketing yang berhasil membantu promosi film ini sehingga mampu meraih pendapatan US$ 125 juta hanya dalam 5 hari.
Menurut Mc Kinsey & Company 67% aktifitas ekonomi Amerika Serikat yang meliputi industri keuangan , biro perjalanan,percetakan, otomotif, farmasi, dan pertanian di pengaruhi oleh buzz. Mengapa buzz sedemikian powerfull sekarang ?
Tidak lain karena sifat manusia yang suka mencari informasi dan kemudian membaginya kepada orang lain. Di samping itu orang mulai bosan dengan iklan dan promosi yang biasa saja yang hanya satu arah, tidak kredibel dan menjadikan pelanggan sebagai objek. Iklan dan promosi inilah yang memunculkan bahwa all marketer are lier.
Kunci dari peningkatan loyalitas pelanggan adalah jangan pernah menyepelekan emosi dan perasaan pelanggan. Emosi pelanggan semakin kuat mempengaruhi kesuksesan perusahaan dimasa depan. Pelanggan akan menjadi loyal hanya jika emosi mereka terikat dengan produk atau perusahaan. Jadi semua program loyalitas bertujuan untuk meningkatkan kadar keterikatan emosi pelanggan.
Loayalty Advantage menjelaskan bahwa berdasarkan hasil survey yang dilakukan Forum Corporation ditemukan bahwa lebih dari 60% responden mengaku telah berpindah brand beberapa kali dalam waktu tertentu. Mereka pindah lebih karena terdorong ketidakpuasan servis dan perhatian yang kurang.
Daniel Goleman mengatakan “ada berbagai cara untuk menyentuh hati pelanggan”. Salah satunya seperti majalah Cosmopolitan yang menyentuh hati dengan mendorong para wanita modern untuk menjadi fun-fearless female.
Memang usaha yang ditempuh untuk mendorong pelanggan ke loyalitas tertinggi yaitu spiritual advocate lebih berat dari fase sebelumnya, memerlukan banyak usaha, komitmen dan menghabiskan lebih banyak sumber daya. Namun demikian return yang didapat perusahaan loyalist secara jangka panjang sangat menguntungkan dan pasti lebih besar dari pada return yang didapat perusahaan yang fokus hanya meningkatkan transaksi saja tanpa pernah membina hubungan dengan pelanggan.

Sumber : Kartajaya, Hermawan, Markplus on Marketing, The Second Generation, Gramedia, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar